AYO Kelola Sampah, Bantu DIY Tak Jadi Darurat Sampah



Erwan Widyarto
Senin, 26 Oktober 2015 Pk 13:28

PRODUKSI sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini, menurut data Dinas PUPESDM (Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral), mencapai 400-500 ton setiap hari. Jika tidak ada pengelolaan yang baik, sampah ini akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak. Sampah akan menjadi persoalan serius bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). DIY bisa menjadi daerah “SOS” sampah alias daerah ‘darurat’ sampah.
 
Kondisi tersebut harus mendapat perhatian serius karena pada akhir tahun 2014 lalu, Sekretariat Bersama Yogyakarta Sleman Bantul (Sekber Kartamantul), yang selama ini mengurusi sampah, menyerahkan urusan sampah ke Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama ini, Sekber Kartamantul yang merupakan model kerjasama penanganan masalah perkotaan di DIY, mengurusi enam sektor sarana prasarana perkotaan di DIY. Keenam sektor itu adalah transportasi, drainase, air limbah, jalan, air bersih dan persampahan.
Urusan sampah dikembalikan ke pemerintah provinsi karena Sekber Kartamantul tidak mampu membeayai pengelolaan sampah di Piyungan yang kapasitasnya makin menurun. Tahun 2015 ini, TPA Piyungan sudah penuh dan tak layak lagi menerima kiriman sampah. Apalagi jika tidak ada upaya pengurangan sampah.
Manager Kantor Sekber Kartamantul, Nasa Ujiarto Aji mengatakan, pihaknya menyerahkan pengelolaan TPST Piyungan ke Pemda DIY karena pihaknya kewalahan jika harus mengelola sampah sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2008 yang diturunkan dalam Perda No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Regulasi tersebut mengamanatkan bahwa pengelolaan sampah mengacu pada system sanitary landfill di mana sampah harus diolah/dipadatkan dan ditimbun setiap hari. Sehingga dampak negatif timbunan sampah semisal bau dan lalat bisa dikurangi dan lebih ramah lingkungan.
Sedangkan selama ini, Sekber Kartamantul mengelola dengan system control landfill di mana sampah digarap setiap tiga hari sekali.
Ketika intensitas pengolahannya semakin sering --dari tiga hari sekali menjadi setiap hari-- anggaran yang dibutuhkan akan naik drastis berikut kebutuhan alat-alat beratnya. Sekber Kartamantul memperhitungkan untuk menerapkan sanitary landfill tersebut butuh setidaknya Rp 10-12 miliar per tahun. Sedangkan, selama ini, Pemkot dan Pemkab yang tergabung dalam Sekber Kartamantul hanya mengucurkan Rp 3 miliar per tahun atau masing-masing Rp 1 miliar.
Di sisi lain/kapasitas Tempat Pemrosesan Sampah Terakhir (TPST) Piyungan telah berada di ambang kritis. Diperkirakan TPST Piyungan ini tak akan mampu lagi menampung timbunan sampah DIY setelah 2015 ini.
Adakah upaya yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi penumpukan sampah tersebut? Apakah selama ini warga DIY sudah mencoba untuk melakukan langkah pengurangan timbulan sampah sebagaimana diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2013?
Kalau kita melihat langsung ke TPST Piyungan, kita akan merasakan betapa masyarakat kita selama ini masih kurang peduli terhadap sampah. Masyarakat kita masih jauh dari amanat peraturan daerah yang mengatur soal sampah.
Sampah yang sampai ke TPST Piyungan mestinya adalah sampah yang sudah benar-benar tidak bisa dimanfaatkan. Namun kenyataannya, sampah-sampah yang sudah dibawa ke TPST Piyungan tersebut, masih banyak yang bisa dikumpulkan dan “dibawa masuk ke kota” lagi. Masih banyak “barang berharga” yang dikirim ke tempat pengelolaan sampah terakhir itu dan kemudian “dikembalikan” lagi ke kota.
Padahal, di dalam pasal 10 Perda No. 3 Tahun 2013 itu diatur bahwa “setiap orang berkewajiban membatasi timbulan sampah dengan (1) mereduksi timbulan sampah dan sumber sampah (2) mendaur ulang sampah menjadi benda lain yang bermanfaat.
Lalu, Pasal 11 juga mengatur “produsen wajib menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin”. Dan Pasal 12 mengatur “setiap orang yang melakukan aktivitas perdagangan wajib menggunakan wadah belanja ramah lingkungan”.
Benar bahwa makin banyak tumbuh kesadaran masyarakat untuk “peduli sampah” ini. Terbukti makin banyak lahir komunitas-komunitas --berbasis RW maupun RT—yang membuat bank sampah, sedekah sampah, ataupun kelompok UKM sampah, yang mencoba untuk mereduksi timbulan sampah dan mendaur ulang sampah menjadi benda lain yang bermanfaat sebagaimana amanat Pasal 10 Perda No 3. Tahun 2013 tersebut.
Namun, menilik timbulan sampah yang makin menumpuk di TPST Piyungan dengan barang-barang yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan, masyarakat harus didorong untuk lebih giat lagi melakukan upaya mengurangi timbulan sampah dan melakukan daur ulang sampah. Pemerintah harus memfasilitasi dan mendorong munculnya bank-bank sampah baru, dan kelompok-kelompok kreatif yang bisa mendaur ulang sampah.
Pengalaman Bank Sampah Griya Sapu Lidi, Sidoarum, Godean menunjukkan, bahwa bank sampah bisa mengurangi timbulan sampah menjadi sesuatu yang bernilai. Dalam catatan pembukuan, dari November 2011 sampai Agustus 2013, bank sampah ini telah mengolah 4,399 ton sampah. Sampah sebanyak itu senilai Rp 6.310.870 dan memberi keuntungan kepada bank sampah sebesar Rp 2.414.005.
Di sisi lain, pemerintah juga harus benar-benar menegakkan aturan Perda tentang sampah ini dengan law enforcement yang ketat. Sesiapa yang tidak mematuhi Perda dikenai sanksi yang semestinya. ***
Saatnya MEMILAH SAMPAH!
Tinggalkan sikap Kumpul Angkut Buang! Ganti dengan Pilah, Olah, Jual. Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah dari Minnesota: Mengelola Sampah Plastik