AYO Kelola Sampah, Bantu DIY Tak Jadi Darurat Sampah
Erwan Widyarto
PRODUKSI sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini, menurut data Dinas
PUPESDM (Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral),
mencapai 400-500 ton setiap hari. Jika tidak ada pengelolaan yang baik, sampah
ini akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak. Sampah akan menjadi persoalan
serius bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). DIY bisa menjadi daerah “SOS”
sampah alias daerah ‘darurat’ sampah.
Kondisi tersebut harus mendapat perhatian serius karena pada akhir tahun
2014 lalu, Sekretariat Bersama Yogyakarta Sleman Bantul (Sekber Kartamantul),
yang selama ini mengurusi sampah, menyerahkan urusan sampah ke Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama ini, Sekber Kartamantul yang merupakan model
kerjasama penanganan masalah perkotaan di DIY, mengurusi enam sektor sarana
prasarana perkotaan di DIY. Keenam sektor itu adalah transportasi, drainase,
air limbah, jalan, air bersih dan persampahan.
Urusan sampah dikembalikan ke pemerintah provinsi karena Sekber
Kartamantul tidak mampu membeayai pengelolaan sampah di Piyungan yang
kapasitasnya makin menurun. Tahun 2015 ini, TPA Piyungan sudah penuh dan tak
layak lagi menerima kiriman sampah. Apalagi jika tidak ada upaya pengurangan
sampah.
Manager Kantor Sekber Kartamantul, Nasa Ujiarto Aji mengatakan, pihaknya
menyerahkan pengelolaan TPST Piyungan ke Pemda DIY karena pihaknya kewalahan
jika harus mengelola sampah sesuai amanat UU No. 18
Tahun 2008 yang diturunkan dalam Perda No. 3 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Regulasi tersebut mengamanatkan bahwa pengelolaan sampah mengacu pada system sanitary landfill di mana sampah
harus diolah/dipadatkan dan ditimbun setiap hari. Sehingga dampak negatif
timbunan sampah semisal bau dan lalat bisa dikurangi dan lebih ramah
lingkungan.
Sedangkan selama ini, Sekber Kartamantul mengelola dengan system control landfill di mana sampah digarap setiap tiga hari sekali.
Sedangkan selama ini, Sekber Kartamantul mengelola dengan system control landfill di mana sampah digarap setiap tiga hari sekali.
Ketika intensitas pengolahannya semakin sering --dari tiga hari sekali menjadi setiap hari-- anggaran yang
dibutuhkan akan naik drastis berikut kebutuhan alat-alat beratnya. Sekber
Kartamantul memperhitungkan untuk menerapkan sanitary landfill tersebut butuh
setidaknya Rp 10-12 miliar per tahun. Sedangkan, selama ini, Pemkot dan Pemkab
yang tergabung dalam Sekber Kartamantul hanya mengucurkan Rp 3 miliar per tahun
atau masing-masing Rp 1 miliar.
Di sisi lain/kapasitas Tempat Pemrosesan Sampah Terakhir (TPST) Piyungan
telah berada di ambang kritis. Diperkirakan TPST Piyungan ini tak akan mampu
lagi menampung timbunan sampah DIY setelah 2015 ini.
Adakah upaya yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi penumpukan
sampah tersebut? Apakah selama ini warga DIY sudah mencoba untuk melakukan
langkah pengurangan timbulan sampah sebagaimana diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2013?
Kalau kita melihat langsung ke TPST Piyungan, kita akan merasakan betapa
masyarakat kita selama ini masih kurang peduli terhadap sampah. Masyarakat kita
masih jauh dari amanat peraturan daerah yang mengatur soal sampah.
Sampah yang sampai ke TPST Piyungan mestinya adalah sampah yang sudah
benar-benar tidak bisa dimanfaatkan. Namun kenyataannya, sampah-sampah yang
sudah dibawa ke TPST Piyungan tersebut, masih banyak yang bisa dikumpulkan dan
“dibawa masuk ke kota” lagi. Masih banyak “barang berharga” yang dikirim ke
tempat pengelolaan sampah terakhir itu dan kemudian “dikembalikan” lagi ke
kota.
Padahal, di dalam pasal 10 Perda No. 3 Tahun 2013 itu diatur
bahwa “setiap orang berkewajiban membatasi timbulan sampah dengan (1) mereduksi
timbulan sampah dan sumber sampah (2) mendaur ulang sampah menjadi benda lain
yang bermanfaat.
Lalu, Pasal 11 juga mengatur “produsen wajib menghasilkan produk dengan
menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan
sampah sesedikit mungkin”. Dan Pasal 12 mengatur “setiap orang yang melakukan aktivitas
perdagangan wajib menggunakan wadah belanja ramah lingkungan”.
Benar bahwa makin banyak tumbuh kesadaran masyarakat untuk “peduli sampah”
ini. Terbukti makin banyak lahir komunitas-komunitas --berbasis RW maupun
RT—yang membuat bank sampah, sedekah sampah, ataupun kelompok UKM sampah, yang
mencoba untuk mereduksi timbulan sampah dan mendaur ulang sampah menjadi benda
lain yang bermanfaat sebagaimana amanat Pasal 10 Perda No 3. Tahun 2013 tersebut.
Namun, menilik timbulan sampah yang makin menumpuk di TPST Piyungan dengan
barang-barang yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan, masyarakat harus
didorong untuk lebih giat lagi melakukan upaya mengurangi timbulan sampah dan
melakukan daur ulang sampah. Pemerintah harus memfasilitasi dan mendorong munculnya
bank-bank sampah baru, dan kelompok-kelompok kreatif yang bisa mendaur ulang
sampah.
Pengalaman Bank Sampah Griya Sapu Lidi, Sidoarum, Godean menunjukkan,
bahwa bank sampah bisa mengurangi timbulan sampah menjadi sesuatu yang
bernilai. Dalam catatan pembukuan, dari November 2011 sampai Agustus 2013, bank
sampah ini telah mengolah 4,399 ton sampah. Sampah sebanyak itu senilai Rp
6.310.870 dan memberi keuntungan kepada bank sampah sebesar Rp 2.414.005.
Di sisi lain, pemerintah juga harus benar-benar menegakkan aturan Perda
tentang sampah ini dengan law enforcement
yang ketat. Sesiapa yang tidak mematuhi Perda dikenai sanksi yang semestinya.
***
Saatnya MEMILAH SAMPAH!
Tinggalkan sikap Kumpul Angkut Buang! Ganti dengan Pilah, Olah, Jual. Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar