Mengelola Sesampahan: Di Palar, di Indonesia Kaya Raya
Bapak Sukir, pegiat Bank Sampah Pandanaran, Paseban, Bayat, Klaten |
Imam Samroni
“Nggih, leres punika, (Ya,
benar itu)” jawab Pak Sukir dengan intonasi yang tetap terjaga dan santun. “Di
desa, dengan adanya kepemilikan pekarangan, warga tidak menganggap sampah
sebagai masalah. Hal ini jelas berbeda dengan warga di kota, apalagi yang
tinggal di perumahan. Tatakelola sampah merupakan hal baru bagi warga saat
itu”.
Siang itu (Jumat Pon, 7 Agustus 2015), di Dukuh Kabo, Desa Paseban,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, saya berkesempatan ngangsu kawruh
dari Pak Sukir dan selanjutnya Mbak Estrini. Dari Pak Sukir dan Mbak Rini, pribadi
yang mengambil peran perubah dan penjaga di tingkat basis, saya mengilas
tentang tatakelola sampah sebagai ihwal proses belajar sosial warga di
perdesaan. Dalam catatan saya,
Bank Sampah Pandanaran adalah bank sampah pertama di Klaten.
“Pasca gempa Sabtu, 27 Mei
2006, ada ajakan LSM dari Jogja yang melakukan dampingan
di sini, agar warga memilah dan mengumpulkan sampah rumah tangga. Dalam perkembangannya, sesampahan
warga tadi ditimbang, dicatat, dan dihargai dengan uang. Itulah bank sampah,”
lanjut Pak Sukir.
“Pengurus Bank Sampah Pandanaran adalah warga sini, dengan penekanan
lebih ke kerja sosial. Pengurus yang menghubungi pengepul, yang membeli sampah
kami. Pengepul berasal dari Dukuh Jombor, Winong, Ngerangan, Tengkle, Bogem, dan Bendungan. Karena keterbatasan pengurus, bank sampah melayani pada Rabu
sore,” tutur Mbak Rini. “Jadwalnya
adalah setiap Rabu dan setiap tanggal 20 pukul 15.30-17.00”.
“Butuh waktu yang tak singkat untuk mengajak dan meyakinkan warga untuk mengelola sampah. Budaya
bersih bisa dimulai dari mengelola sampah, di samping, sampah mempunyai harga
yang bisa dirupiahkan,” kata Pak Sukir.
“Pernah ada warga yang mengambil sampah yang sudah terkumpul dan menjualnya
ke pengepul. Iya saat itu belum ada
gudang untuk menampung hasil pemilahan sampah. Tetapi yang
lebih mendasar adalah membelajar bersama warga dalam hal sesampahan, sesudah
itu, bank sampah adalah pranata yang mengelolanya,” pungkas Pak Sukir.
“Salah satu hasil olahan sampah adalah bros. Untuk penjualan,
Pemerintah Desa Paseban menyediakan distro di Kompleks Makam Sunan Pandanaran. Setiap ada peluang pameran, kami
aktif menjajakan hasil kriya dari bank sampah,” kata Mbak Rini.
***
Paseban adalah gambaran sosial bagaimana warga desa memilah, memilih,
dan menghargai sampah sekaligus mengembangkannya sebagai kerja sosial keekonomian. Pedagang di sekitar kompleks makam mengumpulkan
sampah di truk yang tersedia di bilangan SD Paseban. Kesan bersih dari serakan
sampah diganjar dengan rupiah. Ajakan lisan dan tulisan agar membuang sampah di
tempatnya dinyatakan sebagai cash-flow
rekening buku penabung di bank sampah: Tercatat, teramati, dan terukur. Para
pengepul sampah, sebagai mitra bank sampah, juga mempunyai jadwal yang reguler.
Beberapa pengepul kadang maklum ketika target volume sampah (plastik) tak
tercapai dari Bank Sampah Pandanaran,
Paseban.
***
Lain Paseban, lain Palar. Palar adalah salah satu desa di Kecamatan
Trucuk, sama-sama di Kabupaten Klaten. Meskipun sebaran populasi tak sama di 7 dukuh dan 14 RT, status kepemilikan
lahan di Palar relatif ada. Dalam hal pengolahan sampah, sebagian besar warga
cukup membakarnya. Ember penampung sampah juga hanya beberapa rumah tangga yang
memilikinya. Sejumlah warga Palar yang penulis temui justru bertanya balik
tentang apa-bagaimana “makhluk” bank sampah.
“Rapat RT dan RW pernah mengagendakan
penanganan sampah. Bagi kami di Geneng, pedukuhan terpadat di
Palar, sampah sudah menjadi masalah, sebab pekarangan warga kian sempit” jawab Mas Agung Tugimo, warga Dukuh Geneng. “Penanganannya ya
dibakar langsung oleh rumah tangga. Sejumlah warga bahkan membuangnya di
selokan, yang letaknya tepat di gerbang depan dukuh”.
“Bukan hanya sampah plastik, tetapi juga kotoran sapi atau kambing
bantuan bergulir PNPM,” terang Pak Doto, warga Palar. “Karena belum ada kandang
bersama/kelompok, sapi atau kambing dipiara di masing-masing rumah tangga.
Kotoran dikumpulkan di sekitar kandang, untuk selanjutnya dibawa ke sawah atau diolah di
rumah kompos di Geneng saat itu”.
“Bagus itu jika ada ajakan mendirikan bank sampah di sini,” tegas Mbak
Yuli, pemilik warung soto di Dukuh Padangan. “Warga akan menjaga kebersihan
dari sampah masing-masing rumah tangga. Jika lingkungan bersih, ‘kan enak
dipandang. Dan yang jelas warga tambah sehat, sebab menjadi nasabah bank
sampah, hehehe”.
***
Sejarah bank sampah bisa ditelusuri dari keberadaan Bank Sampah Gemah Ripah, di Badegan, Bantul,
DIY, yang diinisiasi Mas Bambang Suwerda pada 5 Juni 2008. Sebagai pengajar di
Politeknik Kesehatan Depkes, Yogyakarta, ide awal Bambang adalah pendirian
bengkel kesehatan lingkungan agar warga bisa bisa melaksanakan Pola Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS). Dengan PHBS warga bisa lebih peduli dengan kebersihan
lingkungan sehingga mampu mengurangi wabah Deman Berdarah Dengeu pada 2008 saat
itu. Untuk menjaga kebersihan, warga diajak mengumpulkan dan mengolah sampah
menjadi barang yang lebih berguna.
Putar-balik pengumpulan sampah menjadi bank
sampah adalah ketika Bambang Suwerda mengadopsi mode pencatatan bank pada saat
warga menyetor sampah. Warga-yang-menyetor sampah mendapat layanan sebagaimana
layaknya nasabah bank. Nasabah individu membawa sampah rumah tangga di bank,
sampah tersebut ditimbang dan dicatat oleh “teller” sehingga warga-nasabah akan
menerima lembaran bukti menabung dan bank menyimpan salinan lembaran sebagai
kendali. Dengan sistem bagi hasil, nasabah akan menerima kemanfaatan ekonomi
dan bank menerima prosentasi keuntungan untuk operasional dan pemeliharaan
aset. Untuk nasabah kelompok, bank akan mengambil sampah yang sudah terkumpul
pada kelompok masing-masing. Sebagai indikator transparansi, terdapat papan pengumuman
yang menginformasikan harga sampah berdasar jenis sampah dan penerimaan
setoran. Pemaoznfaat bank sampah adalah pengepul dan sebagian nasabah yang
mengolahnya sebagai karya kriya.
Pilihan lema “gemah ripah” merujuk pada nilai
dasar Jawa “gemah ripah loh jinawi,” bahwa kekayaan hasil bumi yang melimpah
niscaya membawa negeri yang subur, makmur, dan sentosa; di samping akronim dari
“gerakan memilah dan mengubah sampah”. Gemah Ripah menerjemahkan tatakelola
sampah sebagai rangkaian kegiatan mengumpulkan, memilah,
menyetor atau menabung sampah, dengan keterlibatan
anggota keluarga. Kemanfaatan
secara ekonomi dari rekayasa sosial inilah yang menjadikan Bank Sampah Gemah
Ripah mendapat apresiasi publik di Indonesia.
Dengan sudut-pandang yang berbeda, meskipun
sama-sama dari DIY, latar belakang yang mendesakkan pencanangan Jogja sebagai
Kawasan Bebas Sampah Visual layak diapresiasi. Inisiatornya juga pengajar,
yaitu Mas Sumbo Tinarbuko, dari ISI Yogyakarta. Komunitas Reresik Sampah Visualadalah jawaban terhadap sesampahan dari alat peraga kampanye partai Komunitas
Reresik politik atau calon legislatif pada musim kampanye 2014 yang lalu.
Banyaknya pelanggaran penempatan alat peraga, ketidaktegasan KPUD, minimnya jumlah personalia satpol PP,
merupakan faktor yang mengotori ruang
publik Jogja. Rekapitulasi yang bisa disampaikan adalah akumulasi sampah visual
yang terentang dari sekali Pilpres, 33 Pilgub (Sebab DIY tidak memilih
mekanisme pemilihan untuk mengisi jabatan gubernur), 530 pilbup/pilwakot, juga
pilkades, sampai pilkadus, kita bisa menghitung kerusakan dan kekotoran sudut
desa, pohon, tiang listrik, dan fasilitas publik lainnya. Komunitas Reresik
dengan Tujuh Sikap-nya sudah bersikap dalam hal sampah visual 2-dimensi untuk
DIY: Kondisi yang juga dialami oleh kewilayahan lain di republik ini. Komunitas
Reresik Sampah Visual dan Bank Sampah Gemah Ripah mengambil pokok-soal yang
sama tentang pengelolaan sampah sebagai tatanilai sosial yang dialami warga di
dalam keseharian.
***
Statistik perkembangan pembangunan Bank Sampah di Indonesia menunjukkan
bahwa pada Februari 2012 terdapat 471 Bank Sampah berjalan dengan 47.125 penabung, jumlah
sampah terkelola 755.600 kg/bulan, nilai perputaran uang Rp
1.648.320.000/bulan. Pada Mei 2012, meningkat menjadi 886 bank sampah, 84.623
penabung, 2.001.788 kg/bulan sampah terkelola, dan perputaran uang Rp
3.182.281.000/bulan (KLH, 2012). Besaran
akumulasi uang terputar juga menunjukkan besarnya volume sampah yang bisa
terkelola.
Jika merujuk pada dasar hukum sesampahan (UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; PP No. 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga), kepedulian yang mendasar adalah memutar-balik
cara pandang warga dan produsen, dari kumpul-angkut-buang
menjadi pengurangan dan penanganan sampah. Kegiatan memilah, mendaur-ulang, dan memanfaatkan
sampah semakin menjadi keutamaan sebab bertautan
dengan banyak hal.
Untuk itulah, di tingkat departemen sudah
diterbitkan sejumlah regulasi, dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33
Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah; Peraturan Menteri LH No. 13 Tahun
2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce,
Reuse, dan Recycle Melalui Bank
Sampah; dan Peraturan Menteri PU No. 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana
dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan/atau Kota di
Indonesia pun berbenah, dari menyiapkan dasar kebijakan, program dan kebijakan,
sekaligus melakukan valuasi kinerja opini. Sesampahan telah menjadi ius publicus, ihwal kepublikan. Sebagai
contoh, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Sampah, sehingga Pemerintah Kota Bandung menetapkan dan mengundangkan
Perda No. 09 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah per 30 Juni 2011. Dalam
perkembangannya, info sediaan warga untuk tatakelola sampah Kota Bandung juga dapat
di-klik Bebas Sampah.
Senyampang dengan suasana kebijakan pro-publik
di atas, Pemerintah Kabupaten Klaten menetapkan program pembangunan bank sampah
dan mesin pengolah sampah dalam APBD 2015. Ke-10 bank sampah akan didirikan di Tegalgondo
(Kecamatan Wonosari), Sabrang (Delanggu), Tambakboyo (Pedan), Pakisan (Cawas), Nglinggi
dan Sumberjo (Klaten Selatan), Tanjungsari (Manisrenggo), Bugisan (Prambanan), Towangsan
(Gantiwarno), serta Taskombang (Kecamatan Manisrenggo).
Hal ini untuk memperkuat keberadaan bank sampah
yang sudah berdiri sebelumnya, yang dalam catatan penulis yaitu: Bank Sampah
Cawas, Bank Sampah Rukun Santosa Jl. Karanglo Polanharjo, Bank Sampah Klaten
Selatan, Bank Sampah Tonggalan, Bank Sampah Sumberejo, Bank Sampah
Pandansimping Bangkit Desa Geneng, Prambanan, dan Bank Sampah Pandanaran Paseban.
Artinya, bank sampah bukanlah “makhluk” baru dalam pengalaman warga dan
kepublikan Klaten.
***
Pengelolaan sampah bukan
hanya masalah di Indonesia, melainkan sudah mengglobal. Bank sampah sebagai
alternatif jawaban juga diinisiasi di Ghana dan sejumlah negara Afrika lainnya,
di samping semakin menguatnya dukungan sejumlah komunitas dan lembaga
internasional.
Dengan sudut-pandang Indonesia, kisah bank sampah sudah
mengalami glokalisasi: Membumikan pengelolaan sampah dengan merujuk
tatanilai masing-masing wilayah. Sama halnya kasus Grameen
Bank di mana Muhammad Yunus merujuk kisah sosial dari Indonesia, diadaptasi dan
dikembangkan dengan pengalaman Bangladesh, sampai akhirnya diterapkan (kembali) di
Indonesia. Dukungan internasional, rintisan dan keberlanjutan bank sampah dari
warga, intervensi kebijakan dan program pemerintahan, dan kepedulian korporat
menjadi lapisan-lapisan kisah yang membentuk pengalaman warga ihwal bagaimana
mengelola sampah.
Pak Sariman, warga Dukuh Geneng, juga
menegaskan dukungannya agar bank sampah bisa terkelola optimal di Desa Palar.
“Apa yang kita tanam ya besok menjadi makanan kita. Masak saya mengotorinya?
Sawah dan pekarangan ya harus bebas dari sampah,” tukasnya.
Pak Sariman dan warga lain hanya merasa betapa
jumlah sesampahan semakin banyak dan beragam di dukuhnya, terutama sampah dari
bungkus produk. Sampah itu bisa dilihat di pekarangan rumah, selokan, jalan,
dan sawah, bahkan di bawah tulisan peringatan larangan membuang sampah.
Belajar dari pengalaman Pak Sukir dan Mbak Rini
dari Paseban, mengarifi suara warga yang ternyatakan oleh Pak Sariman, Mas
Agung, Mbak Yuli, dan yang lain, tatakelola sampah niscaya menjadi proses
belajar sosial warga Palar. Kelayakan perintisan, pendirian, dan pemenuhan
optimal bank sampah sebagai pranata sosial yang berbasis warga menjadi sebentuk
jawaban dari perkembangan sosial yang tengah berlangsung di Desa Palar,
Kecamatan Trucuk, Klaten. Ibu Hj. Sri Hartini selaku kepala desa dan para pinisepuh desa
pun sudah terpanggil untuk memutar-balik cara pandang ius publicus sampah, dari lawan menjadi kawan, yang dengan kerja
sosial mampu menyejahterakan keluarga dan warga Palar.
Kilasan
Apa yang dapat dikilas dari sejumlah kisah bank sampah adalah bahwa (1)
keberadaan bank sampah akan berlanjut jika berada di dalam kelembagaan PKK
desa. Selanjunya (2), sejak awal bank sampah diorientasikan untuk berbentuk
badan hukum koperasi.
Jika sosialisasi diletakkan di dalam konteks proses belajar sosial
warga, maka bank sampah lebih dipahami sebagai klaim pranata sosial. Ajakan
untuk mengelola sampah dari masing-masing rumah tangga akan ditindaklanjuti
sebagai tatakelola bank sampah; dan bukan sebaliknya. Sehingga cita Indonesia
kaya raya, di mana Klaten salah satu kabupaten di dalamnya, didedikasikan untuk
pembangunan “national & social building”.
Komentar
Posting Komentar